(Foto Dr. Sofyan Yoman)
MEMBANJIRNYA ARUS IMIGRAN DI TANAH PAPUA
(Oleh; Socratez Sofyan Yoman)
MRP / DPRP, GKI, LMA tolong segera ambil langkah tegas, jika tidak, kami akan menjadi minoritas di tanah sendiri... !!!
Prof. Dr. Tamrin Tomagola, psikolog dari Universitas Indonesia (UI) di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, 14 september 2012 mengatakan: “Pemerintah Indonesia dengan sengaja mengulur-ngulur waktu, supaya orang Melayu banyak datang dan memenuhi Tanah Papua. Setelah orang Melayu makin banyak jumlahnya dan orang asli Papua menjadi kurang atau sedikit jumlahnya, pada saat itu pemerintah Indonesia akan mengumumkan diadakannya referendum di Papua. Dengan jumlah yang tidak seimbang orang Papua dipastikan dalam posisi yang kalah dan Indonesia menang”
Data Jim Elmslie dalam tulisan berjudul: West Papua Demographic Transition and the 2010 Indonesia Census “Slow Motion Genoside” or not? for Comprehending West Papua Conference, Sydney University, February 23- 24, 2011 mengemukakan hasil penelitiannya sebagai berikut:
1. Tahun 1971, penduduk asli Papua 887.000 orang, pendatang 36 .000 orang, Total Penduduk 923.000; dalam presentasi Papua 96% dan pendatang 4%
2. Tahun 1990, penduduk asli Papua 1.215.897 orang, dan pendatang 414.210 orang, Total Penduduk 1.630.107; dalam presentasi Papua 75% dan pendatang 25%
3. Tahun 2005, penduduk asli Papua 1.558.795 orang, pendatang 1.087.694 orang, Total Penduduk 2.646.489; dalam presentasi Papua 59% dan pendatang 41%
4. Tahun 2011, penduduk asli Papua 1.700.000 orang, pendatang 1.980.000 orang, Total Penduduk 3.680.000; dalam presentasi Papua 47% dan pendatang 55%
5. Tahun 2020, penduduk asli Papua 1.956.400 orang, pendatang 4.743.600 orang, Total Penduduk 6.700.000; dalam presentasi Papua 29,2% dan pendatang akanmencapai 70.8%
6. Tahun 2030, penduduk asli Papua menjadi 2.371.200 orang, pendatang 13.228.800 orang, Total Penduduk 15.600.000; dalam presentasi Papua 15,2% dan pendatang akan mencapai 84.80%
Cypri J.P.Dale dan John Jongga melaporkan: “Berdasarkan data BPS, penduduk Keerom tahun 2010 berjumlah 48.536 jiwa, terdiri dari 26.532 laki-la dan 22.004 perempuan. Dari jumlah tersebut, penduduk Asli Papua sebanyak 19.628 jiwa atau 40.44% dan non Papua sebanyak 28.908 jiwa atau 55,56%.
Lebih jauh Cipry melaporkan: “sejak pengambilalihan Papua dari Belanda, Indonesia meningkatkan pembangunan dan kehadiran militer di Tanah Papua. Satu program pembangunan di Papua yang paling relevan dengan penelitiannya adalah transmigrasi. Akibat dari transmigrasi resmi dan migrasi spontan, komposisi penduduk Papua dan non Papua berubah dari 96:4 menjadi 49:51 pada tahun 2010. Sementara tingkat pertumbuhan penduduk asli Papua hanya 1,8% dan tingkat pertumbuhan penduduk non-Papua adalah 10,82% yang menyebabkan orang Papua dalam tiga dekade saja menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Dari 3, 612,854 total penduduk Papua pada tahun 2010, orang asli Papua terdiri dari 1.760.557 atau 48.73%. Berdasarkan angka pertumbuhan seperti itu, diproyeksikan bahwa pada tahun 2020, orang asli Papua akan menjadi hanya 28,99% dari penduduk Papua, dan dari tahun ke tahun presentasi ini akan menjadi kecil”
Sudah menjadi rahasia umum jika eksistensi dan keberlangsungan hidup serta masa depan rakyat dan bangsa Papua Barat ras Melanesia sudah dan sedang berada dalam bahaya ancaman serius kepunahan di atas tanah leluhur sendiri. Rakyat Bangsa Papua sedang diatur oleh bangsa lain yang datang menguasai, menduduki, dan menjajah mereka hanya untuk kepentingan politik, keamanan dan ekonomi. Berbagai macam instrumen kebijakkan diterapkan atas nama ‘pembangunan dan kesejakteraan’ secara sistematis dan terstruktur untuk memusnahkan eksistensi bangsa Papua Barat pemilik sah dan ahli waris tanah serta negeri Papua, kemudian menguasai dan menggantikannya dengan bangsa Indonesia ras Melayu” (Ruben Benyamin Gwijangge ,2012)
Data-data Biro Pusat Statitis (BPS) tentang jumlah penduduk asli Papua tidak bisa dipercaya sepenuhnya karena banyak yang dimanipulasi demi kepentingan Politik Indonesia. BPS mempunyai watak sama dengan para pelopor pejuang pemekaran Kabupaten, kota dan Provinsi di seluruh Tanah papua. BPS tidak mempunyai data akurat jumlah penduduk asli Papua. Dari dulu hingga sekarang dikatakan bahwa jumlah penduduk asli Papua 1,5 juta jiwa. Sementara para pelopor pejuang daerah otonom baru sangat ambisius dan oportunis dengan memanipulasi penduduk sebagai salah satu syarat pemekaran kabupaten, kota dan provinsi.
Gerge Junus Aditjondro dalam buku “ Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia” menggambarkan: “Dugaan saya adalah bahwa statistik Papua Barat, selama puluhan tahun sudah dipermainkan. Bahwa jumlah orang Papua cuma sekian. Saya tidak percaya pada statistik itu”
Sendius Wonda dalam karyanya: (Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan politik NKRI di Papua Barat) mengemukakan “ semakin lama, semakin tidak sadar tentang membanjirnya jumlah penduduk migran yang didatangkan dari luar Papua dalam setiap Minggu melalui kapal-kapal mewah dan setiap hari melalui pesawat terbang. Datangnya migran itu puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang yang datang dan menduduki tanah Papua Barat. Mobilisasi penduduk migran semakin banyak dibumi cenderawasih, maka di seluruh lini kehidupan perekonomian, atau di sektor-sektor swasta dikuasai oleh orang pendatang karena mereka memiliki modal, ketrampilan (skill), dan pengalaman dari kampung mereka telah lama maju. Walaupun kebanyakkan yang datang adalah kaum miskin. Secara kuantitas menunjukkan bahwa jumlah penduduk sampai tahun 2007 sudah padat di tanah Papua, terutama kota Sorong, Manokwari, Timika, Jayapura, Arso atau Keerom (Jawa mini) Wamena, Merauke dan bahkan merata di seluruh tanah Papua Barat. Di hampir tempat-tempat umum perbandingan yang ada lebih banyak orang non Papua (orang Pendatang) daripada orang – orang asli Papua. Orang asli Papua benar-benar tersingkir dan musnah dari negeri dan tanah sendiri”.
Sendius Wonda dalam bukunya: (Jeritan Bangsa : Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan), menyatakan “ mobilitas penduduk terkait erat dengan pemekaran, agar rakyat tidak berontak memisahkan diri dari NKRI sehingga cara paling ampuh yang digunakan oleh pemerintah RI adalah mempercepat pemekaran Wilayah di berbagai tingkat di seluruh tanah Papua sebagai lahan baru bagi warga RI yang akan ditampung lewat jalur birokrasi, dan jalur bisnis atau pengusaha sehingga warga migran semakin banjir di tanah Papua dengan label mencari pekerjaan disana. Sementara bangsa Papua atau pemilik negeri menjadi penonton dengan dalil mereka belum siap secara SDM dalam jurusan-jurusan tertentu yang langkah yang tidak dimiliki oleh pencari kerja lokal yang ada.
Suprato anggota komisi I DPR RI dari PKS pernah mengungkapkan: “ Intinya adalah masyarakat Papua merasa teralienasi (terpinggirkan) dan akibatnya dalam jangka panjang dikhawatirkan akan seperti suku Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika, Suku Dayak di Kalimantan Tengah yang kini populasinya nyaris musnah” (sumber: Cenderawasih Pos, Selasa, 01 Agustus 2006, hal.2)
Mantan Gubernur Papua Isaac Hindom pada tahun 1984 memprediksikan bahwa “Dalam kurun waktu 50 tahun mendatang orang-orang Papua tidak akan lagi berambut keriting tetapi akan berambut lurus seperti umumnya orang Indonesia lainnya”. Lebih lanjut Hindom katakan bahwa proses menuju ke sana akan bisa dipercepat dengan adanya program transmigrasi dan arus migran bila tidak dikendalikan dengan baik. Lihat (Yoman:Pemusnahan Etnis Melanesia, 2007). Apa yang diramalkan Isaac Hindom sekarang menjadi kenyataan. Kita bisa saksikan dan melihatnya mulai dari sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU/SLTA) dan perguruan tTinggi Negeri dan Swasta di Papua, di Mall, Bank, Kantor, di Airport,Pasar, rumah makan, di terminal angkutan umum, sopir-sopir, dan dimana- mana saja orang-orang Melayu (Indonesia) menjadi mayoritas. Bila di sana ada 20 sampai 50 orang, kita akan menemukan hanya 2 sampai 3 orang Papua bahkan tidak ada sama sekali..
Tidak hanya jumlah yang berkurang bagi penduduk asli Papua, tapi , diisolasi, dipinggirkan, dan secara budaya dikuasai, tidak dapat bersaing secara ekonomi, dan secara politik lebih banyak dan lebih baik orang-orang transmigrasi. Beberapa tempat seperti Jayapura, ditempati mayoritas sesungguhnya menjadi‘orang-orang Indonesia’ yang mendominasi kehidupan ekonomi di kota. Itu terlihat dari pusat-pusat pasar, pusat ekonomi di Jayapura dikuasai oleh orang-orang China dan orang-orang Indonesia (Melayu). Sementara orang-orang asli Papua berjualan di pinggir-pinggir Jalan atau emperan toko dengan buah dan sayur-sayuran dalam jumlah kecil.
Prof. Dr. Tamrin Tomagola, psikolog dari Universitas Indonesia (UI) di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, 14 september 2012 mengatakan: “Pemerintah Indonesia dengan sengaja mengulur-ngulur waktu, supaya orang Melayu banyak datang dan memenuhi Tanah Papua. Setelah orang Melayu makin banyak jumlahnya dan orang asli Papua menjadi kurang atau sedikit jumlahnya, pada saat itu pemerintah Indonesia akan mengumumkan diadakannya referendum di Papua. Dengan jumlah yang tidak seimbang orang Papua dipastikan dalam posisi yang kalah dan Indonesia menang”
Richard Chauvel mengatakan: “ kelompok besar yang menduduki Papua adalah orang Jawa, orang Bugis, orang Makasar, orang Ambon, orang Manado, orang Batak dan orang NTT.”
PJ. Drooglever menyatakan:.....” Indonesia mulai menggunakan kawasan New Guinea dalam skala jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya, untuk menampung banjirnya penduduk Indonesia yang tumbuh begitu cepat. Dalam kaitan ini keadaan orang – orang Papua menjadi lebih jelek. Selama proses ini, tanah mereka semakin banyak yang dirampas, kesempatan kerja diambil oleh masyarakat pendatang. Hal ini juga terjadi di bagian lain di Indonesia, tetapi yang paling opresif adalah Irian Barat. Kota-kota Irian Barat menjadi seperti kota-kota Indonesia lainnya: Padat dan Kotor”(2010: hal.786)
Dewan Adat Papua dalam buku:” Otonomi Khusus Papua Telah Gagal” Karya Socratez Sofyan Yoman, Menyatakan “Kenyataan menunjukkan bahwa selama pemberlakuan Otonomi Khusus di Papua justru arus migrasi masuk lebih tinggi dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Indikator paling kasat mata adalah dalam pelaksanaan Pilkada di Papua. Jarang sekali kandidat yang tidak mencari pasangan masyarakat pendatang, karena secara faktual jumlah masyarakat migran sudah meningkat begitu tinggi di Papua. Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam hal arus masuk para migran ini membuat orang asli Papua terdesak dalam semua lini kehidupan ekonomi,sosial, maupun politik.
Mr. Juan Mendez , Penasehat Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam bidang “ Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi” menyatakan pada (Voice Of Amerika, 27 Januari 2006), bahwa “Papua Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan. Dia menyatakan rasa frustasinya bahwa Indonesia mencegah (melarang) ahli-ahli atau peneliti dari pekerja Hak Asasi Manusia untuk memonitor situasi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang menghawatirkan di Papua Barat. PBB berkeinginan melangkah untuk menjembatani suatu penyelesaian (solusi) untuk tekanan-tekanan yang lebih jauh. Itu sangat mengkhawatirkan dan ada bukti-bukti tentang kekerasan terus berlanjut sejak tahun 1963.
Edisi Abe Jayapura, Selasa, 17 Juli 2018|Pukul, 12.00 Wit|Sumber: “Otonomi Khusus Telah Gagal |Penulis: Dr. Socratez Sofyan Yoman)|
©2015-2018-Reforming
0 Komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !