DISKUSI TERBUKA DALAM RANGKA MEMPERINGATI HUT PENDIKNAS 02 MEI 2018 PENYELENGGARA AMPTPI CABANG MAKASSAR 2018 - JLHATABLOID
Peradaban Milioner [Admin]:
Home » » DISKUSI TERBUKA DALAM RANGKA MEMPERINGATI HUT PENDIKNAS 02 MEI 2018 PENYELENGGARA AMPTPI CABANG MAKASSAR 2018

DISKUSI TERBUKA DALAM RANGKA MEMPERINGATI HUT PENDIKNAS 02 MEI 2018 PENYELENGGARA AMPTPI CABANG MAKASSAR 2018

Written By REFORMING on Jumat, 29 Juni 2018 | 04.55



DISKUSI TERBUKA 
DALAM RANGKA
MEMPERINGATI HUT PENDIKNAS 02 MEI 2018
PENYELENGGARA AMPTPI CABANG MAKASSAR 2018

TOPIK: PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI INDONESIA
Tema: " Bersatu Selamatkan Sesama Manusia Melalui Pendidikan"
Pemadu Diskusi; J. Lhau'rens Tabuni

DASAR PEMIKIRAN

Sesuai landasan filosofi republik ini bahwasannya Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sesama manusia secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kualitas. Sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Organisasi non formal mendapat ruang dalam UU PENAS BAB I Pasal I Ayat 12 bahwa Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang untuk mengembangan, membangun, menerapkan, dan memperlengkapi sesama anak bangsa.

Sejarah pendidikan tinggi di Indonesia belumlah berumur lama. Embrio perguruan tinggi di Indonesia baru muncul ketika pada awal abad ke-20 muncul usaha untuk mendirikan sekolah seperti kedokteran khusus bagi warga asli Indonesia. Meskipun demikian, dalam kurun waktu sekitar 100 tahun ini, banyak perkembangan pendidikan yang dialami. Pada periode pasca-kemerdekaan sampai sekitar pertengahan tahun 90-an, perkembangan kebijakan pengelolaan pendidikan tinggi sangat terpengaruh oleh kebijakan politis bangsa Indonesia saat itu. Sebagai contoh, kebijakan politis yang sentralistis memberikan peran yang sangat luas bagi pemerintah pusat untuk mengatur kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi, mulai dari model pengelolaan perguruan tinggi sampai pengaturan kurikulum nasional. Pengendalian yang terpusat pada pemerintah juga berimbas pada perbedaan perlakuan yang sangat jelas antara perguruan tinggi negeri dan swasta. Pandangan terhadap pengembangan pendidikan tinggi pada saat itu umumnya bersifat inward looking, melihat ke dalam diri. Fokusnya pada peningkatan produktivitas dan efektivitas proses pendidikan dalam lembaga pendidikan tinggi. Pada akhir tahun 70-an misalnya, muncul keinginan untuk mengembangkan sistem studi yang terencana untuk menggantikan sistem studi bebas sebagai warisan masa sebelum Perang Dunia kedua. Pengembangan sistem yang kemudian dikenal dengan sistem SKS ini murni dilatarbelakangi oleh keinginan untuk bisa menjalankan manajemen pengajaran secara massal tetapi efektif dan efisien.

PERKEMBANGAN REAL PENDIDIKAN SAAT INI DAN PEMBAHASAN

Pendidikan nasional dari tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi tiba-tiba mengalami gejala kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi paska reformasi politik di mulai 21 Mei 1998 bersamaan dengan kejatuhan rezim soeharto. Tapi cara kerja dari tangan-tangan yang tidak kelihatan (NKRI-PEMDA) sangat halus maka kecenderungan tersebut tidak mudah terbaca oleh masyarakat umum. Dengan berjalannya waktu tahu-tahu masyarakat berada dalam satu perangkap atau area yang membuat orang tidak dapat lagi mengakses pendidikan dari SD sampai PT secara mudah seperti sebelumnya. Seluruh Peguruan Tinggi Negeri yang pada tahun 1982 dapat diakses oleh anak orang miskin karena hanya membayar Rp. 18.000 untuk jurusan social dan Rp. 24.000 untuk jurusan eksakta (US$1=Rp. 900). Tiba-tiba di awal abad ke 21 tidak dapat diakses lagi. Hal itu Karena salah satu hambatan utamanya adalah biaya pendidikan yang terlalu tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat golongan menengah kebawah. Kasus ini sudah diprivatisasi dalam bentuk BHMN [1], terutama sampai disahkannya UU-BHP [2] pada 17 desember 2008. Masyarakat tidak tau kronologisnya, tiba-tiba mereka hanya merasakan bahwa uang sekolah dan uang kuliah menjadi mahal (perlu tekanan dengan Bahasa hiperbola) dan ini tidak terjangkau lagi bagi golongan menengah kebawah [3].

Gerakan kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan itu tidak mudah terbaca oleh public karena menumpang pada gerakan demokratisasi yang sedang di usung oleh para aktivis pro demokrasi, sehingga kesannya selalu baik. Bahwa berkurangnya campur tangan pemerintah dalam pendidikan itu akan menumpukan otonomi, demokrasi, dan kemadirian lembaga-lembaga pendidikan. Tapi aplikasi negative dari berkurangnya campur tangan pemeintah tersebut tidak pernah disebutkan pada public, pada hal dampak negatifnya jauh lebih daru buruk karena pendidikan tidak lagi ditempatkan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga dan negara wajib memenuhinya, malainkan menjadi barang komoditas. Itu bukan tambah kesengajaan, melainkan dilakukan dengan penuh kesadaran oleh kaki tangan WTO (Worlk Trade Organization) dan Bretton Woods, seperti bank dunia serta IMF (International Monetary Fund). Mereka memanfaatkan momentum menjadwalan ulang utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Bahwa penjadwalan ulang utang luar negeri tersebut hanya dapat dilakukan dengan syarat negara yang bersangkutan harus menerapkan kebijakan penyesuaian structural (SAP = Structural Adjustmen Policies) yang oleh insitusi-institusi di Washingon. SAP mencakup kebijakan-kebijakan ekomomi makro dan belakangan mencakup juga berbagai kebijakan social dan persoalan-persoalan structural seperti privatisasi, kebijakan moneter, hokum-hukum usaha, dan pengelolahannya [4].

Bagaimana cara kembangankan dan tajamkan ilmu pengetahuan yang kita dapat di kampus selama kami di  kota studi?. Menurut Sekum AMPTPI Makassar mengatakan bahwa kami wajib Focus pada jurusan kita itu lebih baik dan harus diskusikan kembali di asrama/organda sebagai lambang menanjamkan gagasan dari ilmu itu sendiri.

Pada tingkat PT, awal liberalisasi pendidikan itu dimulai dengan privatisasi [5]. Empat PTN termuka, yaitu (UI, UGM, ITB, dan IPB) menjadi PT BHMN pada tahun 2000. Pebentukan BHMN ini diterima oleh para senat guru besar atau kalangan akademisi di PTN masing-masing karena dibungkus dengan istilah otonomi kampus. Semua tidak menyadari (atau memang betuk-betul tidak tau meskipun bergelar professor, Dr ) bahwa yang di otonomikan hanya sebatas pencarian dana dan pengelolahan keuangan saja, sedangkan otonomi secara keseluruhan tidak di berikan. Terbukti, dalam hal pemilihan pimpinan rector di PTN-PTN yang di BHMNkan itu materi pendidikan nasional memegang 35% suara sendiri. Ini jumlah suara yang sangat signifikan karena sangat menentukan seseorang dapat terpilih atau tidak sebagai calon rector, mengingat anggota Majelis Wali Amanah (MWA) lainnya hanya memiliki satu suara saja.

Persoalan kampus tidak memenuhi harapan kita menuntut ilmu, apakah ini salah kampus?. Menurut Ans Degey mengatakan bahwa menentukan kualitas bukan pada kampus saja namun yang lebih penting adalah pribadi kita sendiri sebagai agen change.

Sikap kritis dan terbuka terhadap tindakan privatisasi itu di kemukakan oleh hanya sedikit mahasiswa yang peduli pada nasib bangsanya. Tetapi mahasiswa yang menolak secara tegas kenaikan biaya pendidikan sebagai bagian dari privatisasi PTN selalu dilakukan oleh hanya sedikit mahasiswa/I dan tidak punya daya dobrak untuk membatalkan kenaikan. Sedangkan penolakan secara terbuka dari kalangan dosen, dilakukan oleh sejumlah dosen muda di UGM melalui polemic di media local (kedaulatan rakyat). Penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa itu, karena mereka merasakan dampak langsung dari privatisasi, bahwa uang SPP tiba-tiba naik cukup signikan. Kami berikan tekanan pada “hanya sedikit mahasiswa” karena sebagian besar lainnya yang tidak merasakan kesulitan membayar biaya kuliah, tidak peduli dengan privatisasi. Sebaliknya, mereka justru menikmati keinginan untuk pada kuliah di UI, UGM, IPB dan ITB dapat dipenuhi berkat dukungan kemampuan ekonomi mereka. Sebelumnya mereka tidak dapat masuk kesana, karena tidak lulus tes, meskipun secara ekonomi mampu.

Jadi privatisasi beberapa PTN dalam bentuk BHMN tersebut membawa perubahan persepsi masyarakat terhadap keberadaan PTN-PTN yanbg bersangkutan. Sebelum ada privatisasi, masyarakat akan memberikan aspresiai pada mereka yang di terima di PTN sebagai orang pintar/cerdas tapi pasca privatisasi masyarakat akan memberikan aspresiasi atas dasar kemampuan ekonomi orang tua si mahasiswa. Sederhananya, sebelum di privsatisasi dlaam bentuk BHMN orang akan memberikan apresiasi kepada mereka yang diterima di PTN dengan berkomentar : wah.. hebatnya..” tetapi setelah di privatisasi akan berkomentar beberapa bayarnya ketika mendengar seorang lulusan SMA di terima di PTN yang privatisasi. Apresiasi yang di ungkapkan secara spontan oleh masyarakat itu menunjukan bahwa memang telah terjadi pergeseran pola penerimaan mahasiswa baru bebrrapa PTN terkemuka yang di BHMNkan yang dipenuhi oleh besar uang yang harus dibayarkan oleh si calon mahasiswa. Pergeseran persepsi itu secara  perlahan juga membentuk watak baru bagi PT BHMN yang bersangkutan yaitu watak bisnis dan PTN mahal.

Kondisi kampus tidak mencerdaskan, dan bagaimana cara kita sendiri untuk meningkatkan kualitas mutu berpendidikan?. Menurut J. Lhau’rens T. mengatakan bahwa Diskusi harus aktifkan dan jalankan secara rutin,  di asrama/organda Karena akan membentuk kualitas sesama manusia selain kampus.

Mengapa perubahan status dari PTN ke PT BHMN itu menjadikan BHMN mahal ?. hal itu tidak lepas dari dorongan kea rah otonomi dan kemandirian BHMN. Menurut Satryo Soemantri ()dirjen pendidikan tinggi 1998-2007) dalam wawancara dengan orang tempo mengatakan bahwa BHMN adalah status yag dalam hal ini PT bisa mengelolah diri sendiri secara mandiri. Mereka mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan dan mengambil kebijakan sendiri. Mereka hanya mengawasi rambu-rambu yang berlaku, sedangkan pembiayaan tetap oleh pemerintah sebagaian lagi mereka bisa mencari sendiri. Targetnya adalah efesiensi pengelolahan perguruan tingggi negeri. Efisiensi di sini dalam segi sumber daya manusia, fasilitas, cara kerja yang efektif dan akhirnya penigkatan mutu. Kalau dia punya, maka dia dapat berbuat banyak untuk meningkatkan mutu.

“Mengapa Guru dan Orang kesehatan di papua lepas jabatan Guru dan tidak kerja efektif dan efisien?”. Menurut Anton Jikwa mengatakan bahwa salah satu factor adalah kurang memiliki pemahaman tentang moral dan tanggungjawab sebagai Guru dan orang kesehatan (kode etik).

Konsenkuensi dari privatisasi adalah subsidi untuk PT BHMN berkurang atau tetap tapi PT yang bersangkutan dituntut untuk meningkatan kualitas dan pelayanan kepada mahasiswa. Akibatnya mau tidak mau pimpinan Pt yang bersangkutan memobilisasi pencarian dana dari banyak sumber, dan salah satunya yang paling mudah adalah dari mahasiswa. Maka sejak muncul BHMN, SPP di semua PTN dan swasta naik terus setiap tahun rata-rata 25%. Dan dikembangkanlah teknik teknik penrimaan mahasiswa baru (seperti; program prestasi minat mandiri, ujian masuk, mahasiswa utusan daerah, mahasiswa untusan alumni, penelurusan minat bakat dan potensi,) semua ini adalah saringan calmahba yang lebih banyak di dasarkan pada besarnya biaya pendidikan, yang harus bayar oleh mahasiswa itu sendiri. Semua itu di luar SPMB yang merupakan saringan calon mahasiswa yang dilakuakn secara regular bersama semua PTN dan swasta di seluruh Indonesia, tapi koutanya semakin kecil.

Hal ini negara lepas tanggung jawab untuk membiayai mahasiswa yang mau berpendidikan tinggi, ini telah berdampak makin sulitnya orang miskin untuk meakses pendidikan tinggi karena tidak mampu membayar uang masuk maupun uang semsteran yang amat dan makin mahal. PT BHMN akhirnya hanya menampung orang orang kaya saja. Jumlah golongan miskin di PTN semakin mengecil, sebaliknya jumlah golongan terkaya makin membesar. Padahal NKRI adalah negara yang sedang berkembang dan memerlukan orang pintar dari pelosok tanah air serta seluruh lapisan masyarakat (kaya sampai miskin). Orang orang kaya sampai miskin dari seluruh penyuruh tanah air mestinya difasilitasi agar dapat kuliah di PTN terkemuka sehingga mereka dapat berkembang dan memajuan daerah masing-masing. Adalah menjadi negara untuk menfasilitasi warganya agar dapat bersekolah tinggi di PTN terkemuka dengan biaya terjangkau. bukan membuat regulasi yang menyebabkan layanan pendidikan tinggi bermutu justru semakin tidak terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat disluruh penjuru tanah air.

"SATU TUNGKU DALAM SATU HONAI"
LAWAN MALAS
Salam REFOFMASI

“Kinaonak, Amolonggo, Tabea Mufa, Dormom, Yepnum, Pherob, Koyao, Koha, Kosa, Amakanie, Kaonae, Foy Moy, Waniambey, Nare, Nimo, Nayaklak-La’ukinyak, Wadlak Horas, Paka Tu’an Wo Pakalawiren, Kulo Nuwun, Terima Kasih, Thanks You, Wiwao, Wa…Wa…Wa…”

NoteFoot

[1] Badan Hukum Milik Negara
[2] Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan
[3] Materi diskusi dengan para mahasiswa dan pemuda di Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Makassar
[4] Martin Khor, 2001, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Hal. 13-14
[5] Pemerintah selalu menolak istilah privatisasi yang kami kembangkan, misalnya yang sering dikemukakan oleh dirjen pendidikan tinggi (1998-2007), Dr. SumantriSatryo Brojonegoro (Kompas, 26/10/2004, Dirjen dikti; BHMN tak berarti privatisasi).

0 Komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : |Creating Website By; Maskolis |Template By; Johny |Mas Template
|Proudly Ppowered By; Mastemplate| Home To Blogger
Copyright © 2011. JLHATABLOID - All Rights Reserved
Original Design By; Creating Website By; Anton Boma Modified By; Jhon Lhau'renz Tabunny